Review Film We Need to Talk About Kevin
Review Film We Need to Talk About Kevin. Di tengah gempuran film blockbuster dan drama ringan, We Need to Talk About Kevin (2011), disutradarai Lynne Ramsay, kembali mencuri perhatian di 2025. Film ini muncul lagi di radar penonton berkat diskusi viral di media sosial, terutama setelah platform streaming seperti Mubi dan Shudder mempromosikannya sebagai tontonan wajib untuk penggemar psikologi kelam. Dengan rating 75% di Rotten Tomatoes dan skor IMDb 7.5/10, film ini tetap relevan karena temanya yang berat: sifat bawaan versus didikan, serta trauma keluarga. Dibintangi Tilda Swinton dan Ezra Miller yang sedang naik daun saat itu, film ini bukan sekadar thriller psikologis, tapi cerminan mengerikan tentang keibuan dan kegagalan memahami anak sendiri. Di era di mana isu kesehatan mental makin disorot, We Need to Talk About Kevin terasa seperti tamparan yang relevan dan menyakitkan. BERITA BOLA
Sinopsis Film Ini: Review Film We Need to Talk About Kevin
Film ini berpusat pada Eva Khatchadourian (Tilda Swinton), seorang ibu yang berjuang menghadapi anak sulungnya, Kevin (diperankan Jasper Newell saat kecil dan Ezra Miller saat remaja). Cerita dibuka dengan Eva hidup dalam isolasi sosial, dihantui masa lalu dan trauma yang tak dijelaskan sejak awal. Lewat kilas balik non-linear, kita melihat kehidupan Eva sebelum dan sesudah kelahiran Kevin. Sejak bayi, Kevin bukan anak biasa: ia menolak menyusu, menangis tanpa henti, dan menunjukkan sikap manipulatif yang tak wajar. Seiring bertambah usia, Kevin tumbuh jadi remaja cerdas namun dingin, dengan kecenderungan antisosial yang makin kentara.
Eva, yang dulunya penulis travel sukses, merasa terjebak dalam peran ibu yang tak ia inginkan. Hubungannya dengan suami, Franklin (John C. Reilly), retak karena perbedaan pandangan tentang Kevin. Franklin melihat Kevin sebagai anak normal, sementara Eva curiga ada yang salah. Ketegangan meningkat saat Kevin melakukan tindakan keji yang mengguncang komunitas mereka—sebuah tragedi yang tak diungkap detailnya hingga akhir, tapi cukup kuat untuk menghancurkan hidup Eva. Film ini menggali pertanyaan besar: apakah Kevin jahat sejak lahir, atau apakah kegagalan Eva sebagai ibu yang menciptakan monster? Dengan durasi 112 menit, Ramsay menyajikan narasi yang intens, dibalut visual merah menyala dan scoring yang mencekam.
Kenapa Film Ini Seru Ditonton
We Need to Talk About Kevin bukan tontonan ringan, tapi daya tariknya terletak pada keberaniannya menyelami sisi gelap kemanusiaan. Pertama, performa aktingnya luar biasa. Tilda Swinton menghidupkan Eva dengan lapisan emosi yang kompleks—campuran rasa bersalah, marah, dan ketakutan yang terasa nyata. Ezra Miller, yang kini dikenal lewat The Flash, mencuri perhatian sebagai Kevin remaja; tatapannya dingin dan senyumnya licik, membuat penonton merinding. Bahkan Jasper Newell sebagai Kevin kecil mampu menyampaikan aura mengganggu tanpa dialog panjang.
Kedua, sinematografi dan arahan Ramsay adalah masterpiece. Warna merah mendominasi—dari saus tomat hingga cat di rumah Eva—sebagai simbol darah dan kekerasan yang mengintai. Penggunaan suara, seperti derit sepatu atau lagu pop ceria yang kontras dengan adegan kelam, menciptakan ketegangan konstan. Narasi non-linear juga bikin penonton terus menebak, seperti menyusun puzzle emosional. Film ini tak sekadar menghibur, tapi memaksa kita bertanya: bagaimana kita menilai orang tua yang gagal, atau anak yang tak bisa diselamatkan?
Ketiga, temanya relevan abadi. Di 2025, ketika kasus kekerasan remaja dan diskusi soal kesehatan mental ramai di X, film ini terasa seperti cermin sosial. Ia tak menawarkan jawaban mudah, melainkan mengajak refleksi tentang tanggung jawab, empati, dan batas kasih sayang. Bagi penggemar film seperti Hereditary atau The Babadook, ini adalah tambahan sempurna untuk daftar tontonan yang mengguncang jiwa.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positifnya, film ini adalah karya seni yang berani. Akting Swinton dan Miller sering disebut sebagai salah satu yang terbaik di dekade 2010-an, dengan Swinton meraih nominasi di Golden Globe. Visual dan musiknya, termasuk lagu seperti “Nobody’s Fault But My Own” dari Beck, memperkuat atmosfer tanpa terasa berlebihan. Ramsay berhasil mengadaptasi novel Lionel Shriver dengan cara yang lebih visual daripada verbal, membuatnya accessible sekaligus mendalam. Tema tentang keibuan dan sifat manusia juga resonan, terutama bagi yang tertarik pada psikologi atau sosiologi.
Namun, ada kelemahan. Pacing film ini lambat, terutama di 30 menit pertama, yang bisa terasa membingungkan karena transisi kilas balik yang tiba-tiba. Bagi penonton yang mencari resolusi jelas atau aksi cepat, film ini bisa terasa statis dan terlalu kelam. Beberapa kritikus menyebutnya “dingin secara emosional,” dengan karakter Franklin yang kurang tergali, membuat dinamika keluarga terasa timpang. Ada juga yang merasa ending-nya, meski kuat, kurang memberikan penutup yang memuaskan, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Kesimpulan: Review Film We Need to Talk About Kevin
We Need to Talk About Kevin adalah film yang tak mudah dilupain. Ia menantang penonton untuk menatap sisi gelap keluarga dan masyarakat, dengan cara yang indah sekaligus mengerikan. Bagi yang siap dengan pengalaman emosional yang intens, film ini wajib ditonton—tersedia di Mubi atau Amazon Prime. Di 2025, ketika kita makin sadar akan kompleksitas hubungan manusia, karya Lynne Ramsay ini tetap relevan, mengingatkan kita bahwa tak semua pertanyaan punya jawaban, tapi semua cerita layak didengar. (628 kata)