review-film-the-truman-show

Review Film The Truman Show

Review Film The Truman Show. Hampir tiga dekade sejak rilisnya pada 5 Juni 1998, The Truman Show karya sutradara Peter Weir tetap jadi masterpiece yang relevan, bahkan lebih tajam di 2025. Dibintangi Jim Carrey sebagai Truman Burbank, film ini kembali ramai dibicarakan setelah retrospektif di Sundance Film Festival Januari 2025, ditambah lonjakan streaming 30% di Paramount+ berkat tren diskusi di X tentang privasi di era AI dan reality TV. Dengan rating 95% di Rotten Tomatoes dari 150+ ulasan dan skor 8.2/10 di IMDb dari jutaan pengguna, film ini bukan cuma satire cerdas, tapi cermin dystopia yang terasa nyata di dunia media sosial dan deepfake. Nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung (Ed Harris), Sutradara, dan Skenario oleh Andrew Niccol membuktikan kualitasnya, sementara masuknya ke daftar Sight & Sound 2025 sebagai salah satu “50 Film Terbesar Sepanjang Masa” tunjukkan daya tahan budayanya. Di era di mana hidup kita sering jadi konten algoritma, The Truman Show tanya: seberapa bebas kita sebenarnya? Ini bukan sekadar nostalgia, tapi pengalaman wajib untuk renungi kehidupan modern. BERITA BASKET

Ringkasan Singkat dari Film Ini: Review Film The Truman Show

The Truman Show ikuti Truman Burbank, pria biasa yang hidup di kota kecil Seahaven, lengkap dengan istri, tetangga ramah, dan pekerjaan kantoran. Tanpa ia sadari, hidupnya adalah reality show global yang disiarkan 24/7 sejak lahir, dengan Seahaven sebagai set raksasa dan semua orang—termasuk istri Meryl (Laura Linney)—adalah aktor. Christof (Ed Harris), sutradara jenius di balik kubah raksasa, atur setiap detail hidup Truman, dari cuaca hingga drama romansa, untuk jaga rating.

Cerita bergulir saat Truman, di usia 30-an, mulai curiga: lampu jatuh dari “langit”, radio bocor soal gerakannya, dan kilas balik ke Sylvia, cinta sejatinya yang tiba-tiba hilang, bikin ia pertanyakan realitas. Dengan cerdas, ia coba kabur dari Seahaven, hadapi rintangan seperti badai buatan dan manipulasi emosional dari “keluarga”. Klimaksnya epik: Truman temukan batas dunianya—pintu keluar di dinding langit—dan harus pilih antara kenyamanan hidup palsu atau kebebasan yang tak pasti. Durasi 103 menit penuh ketegangan ringan, humor pahit, dan momen reflektif yang bikin penonton ikut bertanya: dunia ini beneran nyata?

Mengapa Film Ini Enak Untuk Ditonton

Keajaiban The Truman Show ada di cara ia gabungkan komedi, drama, dan satire tanpa terasa berat. Sinematografi Dennis Gassner, dengan sudut kamera wide-angle yang tiru lensa CCTV, bikin penonton merasa seperti voyeur, tapi juga empati ke Truman. Skor musik Philip Glass, campur piano lembut dan string dramatis, bangun emosi tanpa lebay, bikin scene seperti pelarian Truman di laut terasa megah. Jim Carrey, biasa dikenal sebagai komedian slapstick, di sini tunjukkan sisi dramatis yang rentan—senyumnya polos, tapi matanya penuh keraguan.

Narasinya lincah; pacing cepat tanpa filler, bikin 103 menit terasa singkat. Dialog cerdas, seperti Christof bilang “We accept the reality we’re presented with,” penuh makna filosofis tanpa njem. Visual Seahaven—warna cerah ala 1950-an—kontras dengan tema gelap tentang kontrol, bikin film enak dilihat di layar 4K remaster 2025. Cocok untuk tonton malam sendirian atau diskusi bareng temen, apalagi dengan lonjakan views di Paramount+ sejak X ramai bahas paralelnya dengan influencer culture. Enak ditonton karena tak cuma hibur, tapi dorong renungkan privasi, kebenaran, dan keberanian kita sendiri—tema yang kini lebih relevan di era AI-generated content dan media manipulasi.

Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini

Sisi positif The Truman Show melimpah. Film ini pelopor kritik terhadap reality TV jauh sebelum Big Brother atau Kardashians jadi fenomena, prediksi bagaimana media eksploitasi hidup demi profit. Performa Jim Carrey jadi turning point kariernya, sementara Ed Harris sebagai Christof beri bobot pada debat etika: apakah manipulasi demi seni dibenarkan? Sinematografi dan set design Seahaven dianggap revolusioner—dapat BAFTA 1999—karena ciptakan dunia utopis yang creepy. Tema eksistensial tentang kebebasan dan identitas tetap relevan; diskusi di X 2025 soroti bagaimana algoritma sosial media mirip kubah Christof. Dampak budayanya besar: film ini inspirasi studi media, dari esai akademik sampai parodi seperti The Simpsons. Dengan 1,5 juta penonton bioskop di 1998 dan box office $264 juta global, ini bukti universalitasnya.

Tapi, ada sisi negatif. Beberapa kritikus bilang ending terlalu rapi—pilihan Truman kabur terasa mudah tanpa jelaskan nasibnya di dunia luar, bikin penonton yang suka ambiguitas kecewa. Karakter pendukung seperti Meryl kurang berkembang, lebih sebagai alat plot ketimbang manusia nyata, terutama di era 2025 yang kini lebih kritis soal representasi wanita. Untuk penonton kasual, tema filosofis bisa terasa berat jika tak mood mikir, dan humor Carrey kadang terlalu quirky bagi yang prefer drama murni. Meski begitu, kekurangan ini minor dibandingkan kekuatan narasi dan visualnya—film tetap solid meski Common Sense Media beri rating 12+ karena tema dewasa dan kekerasan ringan.

Kesimpulan: Review Film The Truman Show

The Truman Show adalah cermin jenius yang refleksikan hidup kita di bawah lensa tak terlihat, dari TV sampai algoritma TikTok. Dengan performa ikonis Jim Carrey dan visi Peter Weir, film ini bukan cuma satire 1998, tapi peringatan abadi tentang kebebasan di dunia yang dikurasi. Di 2025, dengan diskusi privasi dan AI makin panas, ia terasa lebih relevan dari sebelumnya. Jika kamu belum tonton atau ingin ulang, buka Paramount+ sekarang—bukan sekadar film, tapi undangan untuk tanya: apakah kita juga di dalam kubah? Siapa tahu, setelah kredit bergulir, kamu akan cek ulang apa yang “nyata” di hidupmu sendiri.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *