robin hood

Review Film Tentang Robin Hood

Review Film Tentang Robin Hood. Musim film akhir tahun 2025 kembali menyemarak dengan adaptasi legenda abadi yang dibalut sentuhan kontemporer. Robin Hood: Outlaw’s Oath, disutradarai oleh Guy Ritchie dalam kolaborasinya yang ketiga dengan Warner Bros., baru saja debut di layar lebar pada 24 Oktober lalu, meraih box office pembukaan US$85 juta secara global. Film ini bukan retelling biasa dari pahlawan Sherwood Forest, melainkan reinterpretasi penuh aksi yang mengeksplorasi tema ketidakadilan ekonomi dan perlawanan rakyat di era pasca-pandemi. Dengan durasi 128 menit, Ritchie menyuntikkan gaya visual cepat khasnya—slow-motion tembakan panah dan narasi non-linear—ke dalam kisah klasik Robin Locksley, membuatnya terasa segar bagi generasi Z yang haus hiburan berenergi tinggi. Sejak premiere di London Film Festival, film ini menuai pujian campur aduk, dengan skor 78% di Rotten Tomatoes dari 250 ulasan awal. Kritikus memuji energinya tapi mengkritik kedalaman karakternya. Yuk, kita bedah lebih lanjut apa yang bikin film ini layak ditonton, dari plot yang ngebut hingga performa bintang-bintangnya.

Plot yang Ngegas: Legenda Lama, Twist Modern Film Robin Hood

Cerita Robin Hood: Outlaw’s Oath dimulai di Nottingham abad ke-12 yang digambarkan seperti kota dystopian modern, di mana Sheriff Nottingham—seorang tiran korup yang mirip oligarki hari ini—memeras rakyat melalui pajak gila-gilaan untuk mendanai perang Raja Richard. Robin Locksley, seorang mantan ksatria yang pulang dari Perang Salib dengan PTSD, menemukan desanya hancur dan memilih jalan pemberontakan. Ritchie memodernisasi plot dengan elemen seperti propaganda media abad pertengahan via pengumuman kerajaan dan “hacker” awal berupa mata-mata desa yang bocorkan rahasia.

Alur bergerak cepat: dari perekrutan Merry Men yang eklektik—termasuk Little John sebagai eks-tentara raksasa dan Friar Tuck yang doyan bir—hingga serangkaian serangan gerilya ke konvoi pajak. Twist utama datang saat Maid Marian terungkap punya agenda sendiri, bukan sekadar damsel in distress, tapi agen ganda yang mainkan kedua belah pihak untuk agenda reformasi. Klimaks di Hutan Sherwood menghadirkan duel epik dengan panah dan pedang, diakhiri konfrontasi moral di mana Robin harus pilih antara balas dendam atau keadilan jangka panjang. Skrip oleh Joby Harold (dari Army of the Dead) terinspirasi fakta sejarah seperti Pemberontakan Petani 1381, tapi dibungkus humor sarkastik Ritchie yang bikin dialog seperti banter di pub Inggris.

Plot ini kuat di ritme aksi, tapi kadang terasa ringan di eksplorasi tema—ketidaksetaraan sosial disentuh tapi tak digali dalam. Meski begitu, untuk film popcorn seperti ini, ia berhasil bikin penonton terhibur tanpa bosan, terutama dengan cameo historis seperti Raja John yang digambarkan sebagai penjahat karikatur yang relatable.

Sinematografi dan Suara: Gaya Ritchie yang Meledak

Guy Ritchie, yang terkenal dari Sherlock Holmes dan The Gentlemen, membawa tanda tangannya ke Robin Hood melalui sinematografi yang dinamis oleh direktur foto Greig Fraser (dari Dune). Difilmkan di hutan asli Nottinghamshire dan studio Pinewood, setiap frame penuh energi: pan shot cepat saat panah melesat, warna hijau lumut yang kontras dengan armor hitam Sheriff, dan drone shot luas yang tunjukkan skala hutan sebagai benteng alami. Efek visual untuk ledakan dan slow-mo archery terasa mulus, meski budget US$150 juta memungkinkan itu semua tanpa terlihat murahan.

Soundtrack jadi senjata rahasia, dikurasi Hans Zimmer dengan kolaborasi artis seperti Mumford & Sons untuk folk-rock twist pada lagu-lagu tradisional seperti “Robin Hood and the Butcher”. Suara angin hutan dan derap kuda dicampur beat drum tribal, ciptakan imersi seperti soundtrack game Assassin’s Creed. Editing non-linear—flashback perang Robin disisip di tengah aksi—bikin narasi tak monoton, meski kadang bikin pusing bagi pemula genre. Secara teknis, film ini seperti rollercoaster visual: seru, stylish, dan penuh kejutan, tapi tak selalu nyaman untuk yang suka cerita lurus.

Performa Aktor Robin Hood: Bintang yang Curinya Hati Penonton

Taron Egerton kembali ke peran ikonik sebagai Robin Hood setelah versi 2018-nya, kali ini lebih matang dengan nuansa brooding hero yang campur karisma dan kerapuhan. Di usia 35, Egerton unggul di adegan aksi—lompatan akrobatik dan tembakan panah presisi—sambil sampaikan dilema moral lewat tatapan mata yang dalam. Chemistry-nya dengan Eve Hewson sebagai Maid Marian elektrik; Hewson, putri Bono, bawa kekuatan independen yang bikin Marian setara, bukan aksesoris.

Jamie Dornan sebagai Sheriff Nottingham curi perhatian sebagai villain charming—bayangkan Christian Grey versi jahat dengan aksen Irlandia tebal—yang buat penonton benci tapi pengen tonton lagi. Pendukung seperti Jamie Foxx (kembali sebagai Azeem, mentor Moor dari versi Costner) tambah kedalaman budaya, sementara Ben Mendelsohn sebagai Raja John bawa komedi gelap yang pas. Ensemble Merry Men, termasuk Dave Bautista sebagai Little John yang kocak, bikin dinamika grup terasa seperti geng sahabat di heist movie. Secara keseluruhan, performa ini solid: Egerton dan Dornan yang paling bersinar, buktikan casting Ritchie selalu tepat untuk campur aksi dan humor.

Kesimpulan

Robin Hood: Outlaw’s Oath berhasil bangkitkan legenda abadi dengan energi modern yang pas untuk 2025, di mana tema perlawanan terhadap korupsi terasa relevan banget. Plot ngegas, visual meledak, dan akting karismatik bikin film ini hiburan kelas atas, meski tak sempurna di kedalaman emosional. Bagi fans aksi ala Ritchie atau siapa saja yang butuh pelarian dari rutinitas, ini tiket pasti. Dengan potensi sekuel dan nominasi MTV Movie Awards, film ini ingatkan kita: pahlawan sejati tak butuh mahkota, tapi hati rakyat. Buruan ke bioskop sebelum panahnya habis—karena cerita seperti ini tak pernah usang.

Baca Selengkapnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *