Review Film Room
Review Film Room. Pada awal Oktober 2025, tepat satu dekade sejak rilis perdananya, film “Room” (2015) kembali ramai dibicarakan di media sosial berkat postingan Instagram dari penggemar yang rayakan anniversary ke-10, lengkap dengan nostalgia adegan emosional Brie Larson dan Jacob Tremblay. Di tengah hiruk-pikuk film superhero yang mendominasi layar lebar tahun ini, “Room” muncul sebagai reminder kuat tentang kekuatan cerita sederhana yang mendalam. Disutradarai Lenny Abrahamson dan diadaptasi dari novel Emma Donoghue, film ini angkat kisah ibu dan anak yang terperangkap dalam ruang sempit, tapi justru jadi simbol ketahanan manusia. Dengan rating 93 persen di Rotten Tomatoes yang tak bergeming, dan Brie Larson yang kini sibuk di MCU, ulang tahun ke-10 ini bikin banyak orang rewatch—terutama di streaming platform yang tambah koleksi klasik akhir tahun. Apa yang bikin film ini tetap relevan setelah sepuluh tahun? Kita review ulang, dari plot hingga warisannya yang tak pudar. BERITA TERKINI
Ringkasan dari Film Ini: Review Film Room
“Room” ceritakan perjuangan Ma (Brie Larson), wanita muda yang diculik tujuh tahun lalu dan tinggal di gudang sempit seluas 10×10 kaki bersama putranya Jack (Jacob Tremblay), yang lahir di sana dan tak pernah tahu dunia luar. Narasi dibagi dua: bagian pertama fokus kehidupan sehari-hari mereka di “Room”—ruang yang jadi satu-satunya dunia Jack, lengkap dengan rutinitas seperti TV, bak mandi, dan permainan imajinatif untuk bertahan. Ma ajar Jack soal realitas terbatas itu, tapi rahasia gelap terungkap saat Old Nick (Sean Bridgers), penculiknya, datang malam hari.
Bagian kedua, setelah pelarian dramatis yang dipicu rencana Ma, beralih ke dunia luar: Jack hadapi kebingungan sensorik, media yang haus sensasi, dan reuni keluarga rumit dengan ibu Ma (Joan Allen) serta ayahnya (William H. Macy). Film runtime 118 menit ini tak andalkan thriller murahan; ia eksplorasi trauma pasca-kidnap, bonding ibu-anak, dan adaptasi kebebasan. Ditulis oleh Donoghue sendiri, adaptasi ini setia pada perspektif Jack—diceritakan lewat mata anak lima tahun yang polos, bikin penonton rasakan campur aduk haru dan ngeri. Endingnya bittersweet, tutup dengan harapan regenerasi, tanpa resolusi sempurna.
Alasan Film Ini Sangat Populer: Review Film Room
“Room” populer karena gabungkan elemen survival thriller dengan drama keluarga yang intim, raih US$35 juta worldwide dari budget US$13 juta, dan sapu empat Oscar termasuk Best Actress untuk Larson—penghargaan pertama baginya di usia 26 tahun. Tremblay, baru enam tahun saat syuting, curi hati dengan performa alami yang bikin ia nominasi Critics’ Choice, sementara Abrahamson dapat nominasi directing. Di 2025, anniversary ke-10 dorong rewatch spike di Netflix dan Hulu, terutama pasca-Larson muncul di Captain Marvel 3 promo yang sebut “Room” sebagai turning point karirnya.
Secara budaya, film ini resonan karena angkat isu real seperti kasus Elisabeth Fritzl yang inspirasi Donoghue, tapi fokus pada healing daripada horor—bikin ia cocok untuk diskusi kelas atau terapi. Di Instagram dan TikTok, challenge re-enact adegan “escape” viral akhir pekan lalu, dorong jutaan view. Pengaruhnya luas: inspirasi serial seperti “The Act” dan buku self-help tentang resilience. Tak heran ia staple di daftar “must-watch” IMDb dengan 8.1/10, bukti cerita universal tentang cinta ibu yang tak tergantikan.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positif “Room” ada di performa akting yang luar biasa—Larson bawa Ma sebagai pahlawan rapuh tapi tangguh, dapat pujian dari Roger Ebert sebagai “masterclass in restraint”, sementara Tremblay’s innocence bikin adegan seperti “unrolling the rug” jadi ikonik dan mengharukan. Sinematografi Danny Cohen tangkap claustrophobia Room dengan cerdas, pakai lensa lebar untuk bikin ruang terasa lebih sempit, tapi transisi ke dunia luar terasa liberating. Tema bonding dan recovery dari trauma ditangani sensitif, tanpa exploitative—Donoghue bilang ia “bukan film horor, tapi cerita cinta”. Di 2025, ia relevan lagi untuk isu mental health pasca-pandemi, bantu penonton paham adaptasi pasca-isolasi.
Negatifnya, film kadang terlalu lambat di bagian kedua, di mana eksplorasi dunia luar terasa kurang intens dibanding ketegangan Room—beberapa review sebut pacing drop setelah escape, bikin 20 menit akhir agak draggy. Topik berat seperti child abuse dan PTSD bisa overwhelming bagi penonton sensitif, meski ditangani hati-hati; Common Sense Media beri rating 13+ dengan warning. Beberapa kritik juga sebut ending terlalu neat, abaikan kompleksitas jangka panjang trauma. Meski begitu, kekurangan ini minor dibanding kekuatan emosionalnya—film ini lebih dorong empati daripada hiburan ringan.
Kesimpulan
“Room” di anniversary ke-10 tahun 2025 tetap jadi permata sinema, dari ringkasan survival ibu-anak yang menyentuh hingga popularitas berkat Oscar sweep dan rewatch viral, dengan positif akting brilian kalahkan negatif pacing lambat. Bukan sekadar film tentang penyekapan, ia rayakan kekuatan imajinasi dan cinta yang bebas batas. Saat Larson dan Tremblay kini bintang besar, “Room” ingatkan: terkadang, dunia terbesar ada di ruang terkecil. Kalau belum nonton, ini saatnya—atau rewatch untuk rasakan ulang haru itu. Siap keluar dari “Room” Anda sendiri?