Review Film Little Women
Review Film Little Women. Greta Gerwig, sutradara berbakat yang dikenal karena sentuhan pribadinya pada cerita besar, berhasil membawa novel klasik Louisa May Alcott ke layar lebar dengan Little Women tahun 2019. Adaptasi keenam dari kisah empat saudari March di masa Perang Saudara Amerika ini bukan sekadar retelling, melainkan reinterpretasi penuh semangat yang campur humor, duka, dan perjuangan perempuan. Dibintangi Saoirse Ronan, Florence Pugh, Emma Watson, dan Eliza Scanlen sebagai quartet utama, film ini rilis Desember 2019 di tengah musim liburan dan langsung jadi favorit keluarga sekaligus diskusi feminis. Dengan box office 218 juta dolar global dan enam nominasi Oscar (termasuk Best Picture), Little Women bukti bahwa cerita 150 tahun lalu masih punya daya tarik abadi. Pada September 2025, saat Gerwig sibuk dengan proyek Narnia dan adaptasi Alcott lain muncul di teater regional, film ini kembali naik daun di platform streaming berkat challenge TikTok tentang “saudari moments” dan nostalgia akhir tahun. Ini film yang ajak kita renung ikatan keluarga sambil tertawa dan menangis. Artikel ini akan kupas ringkasan plotnya, alasan kenapa ia begitu digemari, serta kelebihan dan kekurangannya yang bikin ia tetap relevan. BERITA VOLI
Ringkasan Singkat Mengenai Film Ini: Review Film Little Women
Little Women mengisahkan kehidupan empat saudari March—Jo (Saoirse Ronan) yang ambisius dan tomboy, Meg (Emma Watson) yang romantis tapi realistis, Amy (Florence Pugh) yang artistik dan ambisius, serta Beth (Eliza Scanlen) yang lembut dan musikal—di New England abad ke-19. Struktur non-linear dimulai dari Jo dewasa di New York, berjuang sebagai penulis sambil flashback ke masa remaja mereka yang penuh kegembiraan dan tantangan. Keluarga miskin tapi bahagia dipimpin Marmie (Laura Dern), yang dorong anak-anaknya kejar mimpi di tengah kemiskinan dan perang. Jo tolak lamaran sahabat kaya Laurie (Timothée Chalamet), yang akhirnya jatuh cinta pada Amy selama perjalanan seni di Eropa; Meg nikah dengan guru sederhana John Brooke (James Norton) meski hadapi tekanan sosial; Beth sakit parah yang uji kekuatan saudari; sementara Amy kembangkan bakat lukisnya di bawah bimbingan Tante March yang eksentrik (Meryl Streep).
Plot berfokus pada konflik internal: ambisi Jo vs norma pernikahan, atau keseimbangan Meg antara cinta dan kenyamanan. Adegan kunci termasuk pesta dansa gagal Meg, pelajaran piano Beth yang mengharukan, dan negosiasi Jo dengan penerbit yang ubah naskahnya jadi novel romantis. Gerwig sisipkan meta-komentar soal penulisan wanita, dengan akhir yang beri Jo kendali atas ceritanya sendiri. Durasi 135 menit, rated PG, film ini kaya detail era—dari gaun sederhana hingga salju musim dingin—tapi tetap ringan dengan dialog witty. Secara keseluruhan, ini perayaan saudari yang saling dukung, di mana cinta keluarga lawan patriarki dan kehilangan, beri pesan empowering tentang pilihan hidup.
Apa yang Menjadikan Film Ini Sangat Populer
Little Women cepat jadi fenomena berkat campuran nostalgia klasik dan sentuhan modern Gerwig yang cerdas. Rilis di akhir 2019, ia buka dengan 16 juta dolar domestik dan capai 218 juta global, unggul di pasar perempuan dan keluarga yang haus cerita autentik. Rotten Tomatoes catat 95% fresh dari kritikus dan 92% audience, puji bagaimana non-linear structure bikin novel panjang terasa segar—seperti album konsep yang ajak penonton susun puzzle emosional. Nominasi Oscar enam bidang, termasuk Best Director untuk Gerwig (pertama wanita sejak Kathryn Bigelow), dorong buzz awards season, meski kalah dari Parasite di Best Picture.
Casting jadi daya tarik utama: Ronan beri Jo semangat pemberontak yang relatable, Pugh ubah Amy dari “penjahat kecil” jadi ikon mandiri (nominasi Oscar di usia 23), sementara Watson dan Scanlen tambah kedalaman. Skor Alexandre Desplat yang anggun, dengan piano lembut dan orkestra ringan, tambah rasa hangat, dan kostum Jacqueline Durran—pemenang Oscar—penuh warna musiman yang ikonik. Di 2025, popularitasnya bertahan lewat streaming di Prime Video dan Disney+, di mana ia sering top chart akhir tahun berkat #LittleWomenVibes di TikTok (miliaran views dari user rekam “Jo speech”). Referensi di serial seperti The Crown dan diskusi gender equality dorong generasi muda nonton, plus edisi anniversary Blu-ray 2024 dengan commentary Gerwig naikkan penjualan merchandise. Bahkan, novel Alcott naik 25% di bestseller list pasca-rilis. Kombinasi timing liburan, feminisme subtle, dan eksekusi emosional bikin film ini tak hanya populer, tapi juga inspiratif di era pasca-MeToo.
Apa Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini: Review Film Little Women
Film ini punya banyak kekuatan yang bikin ia unggul sebagai adaptasi. Pertama, kedalaman karakter: setiap saudari punya arc lengkap—Jo tolak konformitas, Amy peluk ambisi tanpa minta maaf—tanpa jatuh ke stereotip, beri representasi perempuan kompleks yang langka di film period drama. Ensemble cast brilian: chemistry Ronan-Chalamet penuh ketegangan romantis, Pugh curi adegan dengan energi fiery, dan Dern sebagai Marmie beri kebijaksanaan hangat. Struktur non-linear Gerwig inovatif, hindari kebosanan linier versi lama (seperti 1933 Katharine Hepburn), dan bikin emosi lebih impactful—seperti flashback Beth yang tiba-tiba hantam hati. Visualnya memukau: sinematografi Yorick le Saux tangkap keindahan New England, dari ladang gandum ke kamar berantakan, sementara dialog adaptasi Alcott penuh humor kering yang terasa kontemporer. Secara budaya, film ini dorong gerakan girl power, dengan quote Jo “I am angry nearly every day” jadi slogan di media sosial, dan skor 8,3/10 di IMDb bukti cinta luas. Ia inspirasi adaptasi lain seperti Emma 2020, tunjukkan klasik bisa relevan tanpa kehilangan jiwa.
Namun, ada kekurangan yang patut dicatat. Bagi purist Alcott, perubahan akhir—meta penerbit yang bikin Jo “bahagia” lewat novel—terasa terlalu meta dan kurang setia pada ending ambigu asli, bikin resolusi romantis terasa dipaksakan. Pacing non-linear kadang bingungkan, terutama di awal, di mana loncat waktu butuh penonton fokus; subplot Laurie dan Amy terasa rushed dibanding fokus saudari. Representasi ras dan kelas minim—latar belakang kulit hitam ada tapi tak sentral—kritik di era inklusivitas 2020-an, meski Alcott progresif untuk zamannya. Durasi panjang bisa lelahkan penonton kasual, dan elemen humor Gerwig yang quirky (seperti lelucon gaun Meg) terasa sedikit aneh di setting historis. Di 2025, dibanding karya Gerwig seperti Barbie yang lebih bombastis, film ini agak kalem dan kurang viral secara visual. Meski begitu, kelebihannya dominan sebagai perayaan keluarga, tapi kekurangannya ingatkan adaptasi selalu punya trade-off.
Kesimpulan: Review Film Little Women
Little Women adalah karya Greta Gerwig yang penuh hati, sebuah film yang bangkitkan semangat novel Alcott dengan cara yang cerdas dan menyentuh. Dari ringkasan saudari March yang penuh warna hingga popularitasnya yang lahir dari casting stellar dan buzz awards, ia bukti cerita lama bisa jadi anthem modern di 2025. Meski punya isu pacing dan adaptasi purist, kekuatannya dalam rayakan ikatan perempuan dan ambisi tak tergoyahkan—mengajak kita hargai saudari, literal atau figuratif. Dengan legacy Oscar dan streaming abadi, film ini selamanya jadi pengingat: little women punya cerita besar. Nonton ulang, peluk orang tersayang, dan biarkan emosinya mengalir—karena ya, saudari adalah kekuatan terbesar kita.