Review Film: Single in Seoul (2023)
Review Film: Single in Seoul Di era modern Korea Selatan, istilah Honjok (orang yang suka melakukan aktivitas sendirian) telah menjadi gaya hidup yang umum. Film Single in Seoul (2023), yang disutradarai oleh Park Beom-soo, hadir untuk menangkap semangat zaman tersebut. Film ini memasangkan dua aktor veteran genre romansa, Lee Dong-wook dan Im Soo-jung, dalam sebuah cerita yang tenang, estetis, dan sangat relatable bagi kaum urban yang terbiasa hidup sendiri.
Premisnya berputar di dunia penerbitan buku. Park Young-ho (Lee Dong-wook) adalah seorang instruktur esai dan influencer populer yang sangat memuja kehidupan lajangnya. Baginya, “sendiri adalah satu-satunya cara untuk tidak terluka.” Di sisi lain, Joo Hyun-jin (Im Soo-jung) adalah seorang kepala editor di perusahaan penerbitan yang kompeten dalam pekerjaan namun ceroboh dan naif dalam urusan cinta. Ketika mereka harus bekerja sama untuk menerbitkan seri esai berjudul “Single in Seoul”, benturan dua ideologi dan gaya hidup ini pun tak terelakkan. Film ini bukan sekadar komedi romantis yang meledak-ledak, melainkan sebuah eksplorasi yang hangat tentang bagaimana kita berdamai dengan kesepian dan masa lalu.
Filosofi Kesendirian vs Kerinduan Koneksi
Kekuatan utama dari naskah film ini adalah ia tidak serta-merta menghakimi gaya hidup lajang sebagai sesuatu yang “salah” atau “harus diperbaiki”. Karakter Young-ho digambarkan sangat menikmati hidupnya: makan daging sendirian di restoran mewah, menata rumah dengan rapi, dan memiliki rutinitas yang teratur. Film ini memvalidasi kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam kesendirian. Lee Dong-wook tampil sempurna sebagai pria narsis namun menawan, yang menggunakan kesendiriannya sebagai perisai dari trauma masa lalu.
Sebaliknya, karakter Hyun-jin mewakili sisi lain dari koin yang sama: seseorang yang sendirian bukan karena pilihan, melainkan karena keadaan, dan diam-diam merindukan kehangatan hubungan. Dinamika push-and-pull antara Young-ho yang sinis dan Hyun-jin yang hangat menciptakan percikan romansa yang matang (mature romance). Interaksi mereka tidak dipenuhi dengan dramatisasi yang berlebihan, melainkan percakapan-percakapan intelektual dan momen-momen kecil di kantor yang terasa sangat membumi.
Tema “Penyuntingan” Memori Review Film: Single in Seoul
Aspek paling menarik dan mendalam dari Single in Seoul adalah metafora tentang “editing” atau penyuntingan. Sebagai film yang berlatar dunia literasi, proses menulis dan menyunting buku diparalelkan dengan cara manusia memproses ingatan mereka. Konflik utama muncul ketika mantan pacar Young-ho, Hong-joo (diperankan oleh Esom), muncul sebagai penulis untuk buku pendamping berjudul “Single in Barcelona”.
Melalui kehadiran Hong-joo, film ini menantang narasi Young-ho. Young-ho selalu merasa dirinya adalah korban dalam hubungan masa lalunya, namun perspektif Hong-joo mengungkapkan fakta yang berbeda. Film ini mengajarkan bahwa kita semua adalah “editor” bagi hidup kita sendiri; sering kali kita memotong bagian-bagian yang tidak menyenangkan dan memoles ingatan agar kita terlihat lebih baik atau tidak terlalu bersalah. Penyadaran Young-ho bahwa ingatannya bersifat subjektif dan bias adalah momen pertumbuhan karakter yang sangat kuat dan relevan bagi siapa saja yang pernah gagal dalam hubungan. (casino)
Visual Estetik Seoul dan Nuansa Musim Dingin
Secara visual, Single in Seoul adalah sebuah surat cinta untuk kota Seoul. Sinematografinya menangkap keindahan urban kota tersebut dengan cara yang sangat romantis dan melankolis. Pemandangan malam Sungai Han, Menara Namsan dari kejauhan, kafe-kafe buku yang nyaman, hingga suasana jalanan yang dingin namun indah, semuanya disajikan dengan palet warna yang menenangkan.
Film ini sangat cocok ditonton sebagai “winter movie”. Suasana musim dingin yang ditampilkan—mantel tebal, uap napas di udara dingin, dan cahaya lampu kuning hangat—menciptakan atmosfer cozy yang membuat penonton ingin meringkuk di bawah selimut sambil membaca buku. Musik latar yang didominasi oleh instrumen akustik dan jazz ringan semakin memperkuat nuansa sentimental film ini tanpa membuatnya terasa cengeng.
Kesimpulan Review Film: Single in Seoul
Secara keseluruhan, Single in Seoul adalah film yang menawan dalam kesederhanaannya. Ia mungkin tidak menawarkan plot twist yang mengejutkan atau komedi slapstick yang membuat terpingkal-pingkal, namun ia menawarkan kehangatan yang bertahan lama. Film ini berhasil menghindari klise rom-com di mana karakter harus “berubah total” demi cinta. Sebaliknya, kedua karakter utama belajar untuk sedikit membuka pintu hati mereka tanpa kehilangan jati diri.
Ini adalah tontonan yang sempurna bagi mereka yang menyukai film dengan tempo santai (slow burn) dan dialog yang bermakna. Single in Seoul mengingatkan kita bahwa menjadi lajang itu baik-baik saja, dan jatuh cinta juga baik-baik saja. Yang terpenting adalah jujur pada diri sendiri dan menyadari bahwa dalam naskah kehidupan, kita selalu bisa melakukan revisi untuk bab selanjutnya yang lebih baik.
review film lainnya ……