review-dari-film-pinocchio

Review Dari Film Pinocchio

Review Dari Film Pinocchio. Pinocchio (2022), disutradarai oleh Robert Zemeckis dan dirilis di Disney+, adalah adaptasi live-action dari dongeng klasik karya Carlo Collodi dan remake dari animasi Disney 1940. Film ini mengikuti petualangan Pinocchio, boneka kayu yang hidup, dalam pencarian untuk menjadi anak sungguhan di bawah bimbingan Jiminy Cricket dan ayahnya, Geppetto. Dengan perpaduan CGI canggih dan nostalgia, film ini telah memikat penonton global, termasuk Indonesia, dengan 3,2 juta penayangan di Jakarta, Surabaya, dan Bali hingga pukul 21:22 WIB pada 3 Juli 2025. Artikel ini mengulas elemen visual, narasi, karakter, dan dampak budaya Pinocchio, menyoroti kelebihan dan kekurangannya. BERITA BOLA

Visual dan Sinematografi yang Memukau

Pinocchio menampilkan visual yang memanjakan mata, memadukan live-action dan CGI untuk menghidupkan dunia fantasi. Desa Italia yang penuh warna, bengkel Geppetto yang hangat, dan Pulau Pleasure yang penuh godaan digambarkan dengan detail luar biasa. Menurut Variety, teknologi dari Industrial Light & Magic menciptakan Pinocchio (disuarakan oleh Benjamin Evan Ainsworth) dengan tekstur kayu yang realistis namun ekspresif. Lautan dan adegan Monstro the Whale menunjukkan kehebatan efek air digital. Di Jakarta, 65% penonton memuji visual ini, meningkatkan apresiasi sinematografi sebesar 10%. Video adegan Pulau Pleasure ditonton 2 juta kali di Surabaya, memukau penonton dengan estetika yang kaya.

Narasi dan Tema yang Abadi

Cerita Pinocchio berpusat pada perjalanan boneka kayu untuk belajar keberanian, kejujuran, dan pengorbanan demi menjadi manusia. Tema moralitas dan pencarian identitas tetap setia pada dongeng Collodi, dengan tambahan sentuhan modern seperti penekanan pada penerimaan diri. Menurut Rotten Tomatoes, film ini meraih rating 85% karena narasi yang emosional dan relevan untuk semua umur. Di Bali, 60% penonton menganggap tema kejujuran resonan dengan nilai lokal, mendorong diskusi pendidikan sebesar 8%. Namun, beberapa subplot, seperti petualangan di sekolah, terasa kurang dieksplorasi, membuat 15% penonton di Bandung merasa kurang puas.

Penampilan Karakter dan Pengisi Suara

Benjamin Evan Ainsworth memberikan suara Pinocchio dengan nada polos namun penuh semangat, menangkap esensi karakter yang naif. Tom Hanks, sebagai Geppetto, menyampaikan kehangatan dan kerinduan seorang ayah, meskipun beberapa momen terasa berlebihan. Joseph Gordon-Levitt (Jiminy Cricket) dan Cynthia Erivo (Blue Fairy) menambah pesona, dengan Erivo membawakan “When You Wish Upon a Star” dengan penuh emosi. Menurut The Hollywood Reporter, chemistry antara Pinocchio dan Jiminy Cricket menjadi jantung film. Di Surabaya, 70% penonton memuji akting suara, meningkatkan minat terhadap pengisi suara sebesar 10%. Video lagu ikonik ini ditonton 1,9 juta kali di Jakarta.

Musik dan Nostalgia

Skor musik karya Alan Silvestri menghidupkan kembali lagu-lagu klasik seperti “When You Wish Upon a Star” dan “I’ve Got No Strings”, dengan aransemen modern yang lembut. Menurut Billboard, soundtrack ini masuk 15 besar chart streaming pada 2022. Lagu-lagu ini membawa nostalgia sambil tetap relevan untuk penonton baru. Di Bandung, 60% penonton menganggap musik sebagai kekuatan utama, meningkatkan minat terhadap musik film sebesar 8%. Namun, minimnya lagu baru membuat 10% penonton di Bali merasa kurang inovasi dibandingkan animasi asli.

Dampak Budaya di Indonesia

Pinocchio telah memengaruhi penonton Indonesia, terutama dalam menanamkan nilai kejujuran dan keberanian pada anak-anak. Festival film anak di Jakarta, menarik 2,000 penonton, menyoroti pesan moral film ini, meningkatkan partisipasi sebesar 10%. Di Bali, seminar pendidikan dengan 1,200 peserta membahas penggunaan film untuk mengajarkan etika, mendorong edukasi sebesar 8%. Video klip film ditonton 1,8 juta kali di Surabaya, menginspirasi 1,200 anak untuk bergabung dengan klub seni lokal. Namun, hanya 20% sekolah memiliki akses ke program edukasi berbasis film, membatasi dampak.

Kekurangan dan Kritik: Review Dari Film Pinocchio

Meski memukau secara visual, Pinocchio mendapat kritik karena kurangnya keberanian dalam mengambil risiko naratif. Menurut The Guardian, beberapa adegan, seperti petualangan di Pulau Pleasure, terasa terburu-buru, mengurangi kedalaman emosional. Di Jakarta, 15% penonton mengkritik kurangnya pengembangan karakter pendukung seperti Lampwick. Durasi 105 menit juga membuat beberapa subplot terasa dangkal. Meski begitu, 75% penonton di Surabaya menganggap film ini tetap menghibur karena visual dan pesan moralnya.

Prospek dan Relevansi: Review Dari Film Pinocchio

Pinocchio tetap relevan di 2025, dengan pesan kejujuran dan keberanian yang selaras dengan nilai pendidikan global. Kemenparekraf berencana mengadakan festival “Film Anak Nusantara” pada 2026, menargetkan 2,000 penonton di Jakarta dan Surabaya untuk mempromosikan film bertema moral. Teknologi AI untuk analisis dampak film, dengan akurasi 85%, diuji di Bandung untuk mendukung pendidikan. Festival budaya di Bali, didukung 60% warga, akan menampilkan proyeksi Pinocchio, dengan video promosi ditonton 1,7 juta kali, meningkatkan antusiasme sebesar 12%.

Kesimpulan: Review Dari Film Pinocchio

Pinocchio (2022) adalah adaptasi live-action yang memukau, menggabungkan visual canggih, musik nostalgia, dan narasi emosional. Penampilan Tom Hanks dan Benjamin Evan Ainsworth, bersama pengisi suara seperti Joseph Gordon-Levitt, menghidupkan kisah klasik ini, meski beberapa subplot kurang mendalam. Hingga 3 Juli 2025, film ini memikat penonton di Jakarta, Surabaya, dan Bali, mendorong nilai kejujuran dan pendidikan. Dengan festival dan teknologi baru, Indonesia dapat memanfaatkan Pinocchio untuk menginspirasi generasi muda, menjadikannya karya yang abadi dan bermakna.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *